25 November
Hari ini diperingati sebagai hari guru nasional.
Teringat sosok-sosok guru mulai SD sampai dosen saat kuliah.
Guru pertama setelah ibuku adalah ibu Fauzah, guru kelas satu waktu aku SD. Sosok sabar yang menenangkan aku yang sering menangis karena belum selesai menulis, sedangkan teman-teman yang lain sudah bersiap untuk pulang. Sabar menuntun satu demi satu muridnya mengenal huruf dan angka, belajar menggabungkan huruf menjadi kata, menyusun kata menjadi kalimat, menghitung dari satuan hingga ribuan.
Ada pak Endang, guru kelas 6 yang mengajarkanku hal-hal yang berhubungan dengan kemandirian. Aku sering sekali mengikuti lomba ditemani beliau. Lomba murid teladan, lomba paduan suara, beberapa kemah dan lainnya. Aku senang saat beliau bernyanyi, kadang aku pun berduet dengan beliau.
Guru-guru lain saat SD tak kalah berkesan dan hampir semuanya masih hidup, Ibu Erma, ibu Eka, ibu Juhenah, ibu Lina, pak Haeruji, ibu Mutmainah, dan ada satu yang sudah meninggal, ibu Wartinah (semoga Allah menerima segala amal ibadah beliau..aamiin)
SMP lebih seru, kebanyakan guruku sering cerita di depan kelas di sela-sela mengajar. Dari setiap cerita selalu ada pelajaran. Salah satunya anjuran tidak tidur siang saat haid dari Bu Lilis, guru bahasa sunda.
Karakter guru-guru SMP lebih beragam, karena memang jumlahnya pun banyak.
Bu Mega, guru matematika yang hobi mengecek PR siswa, bukan dari betul atau salah terlebih dahulu tapi apakah tintanya masih basah atau sudah kering. Kalau menurut beliau masih basah maka PR tidak akan dikorekai, karena itu artinya dikerjakan di sekolah, begitu menurut beliau.
Guru bahasa Indonesia aku juga unik, Bu Nur yang ceplas-ceplos dan Pak Leman yang kalau berkomunikasi dengan beliau harus menggunakan bahasa baku.
Ah kalau aku sebutkan satu persatu bisa jadi puanjang ceritanya.
Lanjut ke SMA, kalau ditanya siapa guru favorit pas SMA jawabannya adalah pak Ade, guru fisika yang membuat aku tidak pernah mengeluh. Bersama beliau belajar fisika jadi sangat mudah. Orangnya ramah dan sabar, begitupun istrinya. Selain di sekolah aku sempat jadi murid di tempat bimbel beliau. Perlakuan beliau dan istrinya pada kami muridnya, seperti pada anak sendiri.
Bu Diah, guru matematika yang punya penampilan vintage tapi bagiku dan teman-teman, penampilan beliau selalu keren setiap hari. Cara berpakaiannya seperti orang-orang Jepang.
Ditambah dengan suami beliau Pak Zaenudin Zay, kepala sekolah tercinta. Mereka pasangan serasi dan romantis. (yang bagian romantis hanya ditunjukkan pada saat di luar sekolah).
Ada pak Nurdin yang (katanya) ganteng, bu Tuti yang enak diajak ngobrol, pak Gun (walikelas 3ipa 2) yang memberi aku pengalaman pertama kemah di bawah air terjun di Curug Cigumawang, bu Nurima yang selalu membuat seisi kelas tegang (dan aku pernah kena hukum beliau, aku ceritakan nanti), pak Afandi yang kocak tapi kadang ga jelas, pak Almasih yang setiap pertemuan selalu membahas soal Aceh dan GAM, bu Amel guru paling muda, cantik, dan single saat itu sehingga secara otomatis menjadi idola murid laki-laki, serta guru-guru lainnya yang punya kekhasan tersendiri.
Berikutnya saat kuliah. Dosen-dosen di kampus tak kalah seru dengan guru-guruku sebelumnya.
Bukan sekedar ilmu teknik kimia yang mereka bagi, tapi juga pelajaran-pelajaran tentang bagaimana lebih dewasa dan bijak menyikapi hidup. Ya bukan sekedar ilmu tapi juga memberi pekerjaan buatku.
Pak Endang yang mengantarkan aku mengajar di SMA Al-munawwaroh. Awalnya beliau bilang hanya menggantikan beliau sementara tapi ternyata seterusnya, sampai sekarang.
Pak Heri yang menawarkan aku mengajar di sebuah tempat bimbel.
Ada dosen pembimbing Rancangan Pabrik ku, bu Dhena yang sabar menghadapi aku yang sering menyerah karena kesulitan mencari referensi dan kesulitan menyelesaikan Rancangan Pabrik. Pak Rudi, ketua jurusan sekaligus dosen pembimbing penilitian yang kadang membuat aku kesal karena kesibukan beliau sehingga sulit sekali bertemu beliau untuk bimbingan. Yang detail soal kerangka tulisan, bahkan tanda baca, membuat aku belajar dalam hal penulisan.
Serta dosen-dosen lain, pak Rusdi, pak Jay, bu Indar, bu Elfi, bu Eka, dan lainnya. Mereka memberi kesan berbeda-beda.
Terakhir para murrobiku, teh Wiwit, teh Lina, teh Nia, bu Fitri, mba Farida, teh Diana, bu Maryam, dan bu Dwi. Dari mereka aku mendapatkan ilmu yang tak aku dapatkan di pendidikan formal.
Dan untuk semua guruku, terima kasihku tak akan membalas apa yang sudah dan akan terus diberikan.
Aku berharap bisa berbagi ilmu kepada siapapun sebaik kalian membaginya padaku.
Kukirimkan sebait do'a tulus
Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan, menjadikannya amal jariyah yang memperberat timbangan amal baik, mengampuni segala dosa dan kesalahan yang secara sengaja atau tidak telah dan akan dilakukan. Dan menaikkan derajat sebagai orang-orang berilmu.
Aamiin......